TUGAS BAHASA INDONESIA 2#
PEREKONOMIAN INDONESIA
A. Ekonomi Indonesia pada masa orde lama (1950-1966)
1. Demokrasi Liberal
a. Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal
(1950-1959).
Kondisi Ekonomi
Indonesia pada masa liberal masih sangat buruk. Hal ini disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut.
1. Setelah pengakuan
kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, Bangsa Indonesia
menanggung beban keuangan dan ekonomi, seperti yang telah ditetapkan dalam
hasil KMB. Beban tersebut berupa utang luar negeri sebesar 1,5 triliun rupiah
dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 triliun rupiah.
2. Politik Keuangan
Indonesia tidak dibuat di Indonesia melainkan dirancang di Belanda.
3. Pemerintah Belanda
tidak mewarisi ahli-ahli yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial
menjadi sistem ekonomi nasional.
4. Tidak stabilnya
situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk
operasi-operasi keamanan sangat meningkat.
5. Defisit yang harus
ditanggung pemerintah RI pada waktu itu sebesar Rp. 5,1 miliar.
6. Ekspor Indonesia
hanya bergantung pada hasil perkebunan.
7. Angka pertumbuhan
jumlah penduduk besar.
Defisit itu berhasil
ditanggulangi oleh pemerintah dengan pinjaman luar negeri sebesar Rp. 1,6
miliar. Selanjutnya melalui sidang uni Indonesia-Belanda disepakati kredit
sebesar Rp.200juta dari Negeri Belanda. Masalah jangka pendek yang harus
diselesaikan pemerintah adalah:
1. Mengurangi jumlah
uang yang beredar.
2. Mengatasi kenaikan
biaya hidup.
Sementara itu masalah
jangka panjang adalah masalah pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan
penduduk yang rendah.
b. Usaha untuk memperbaiki perekonomian.
1. Gunting Syarifuddin
Kebijakan gunting
syarifuddin adalah pemotongan nilai uang. Tindakan keuangan ini dilakukan pada
tanggal 20 maret 1950 dengan cara memotong semua uang memotong semua uang yang
bernilai Rp. 2,50 keatas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan
keuangan ini dilakukan pada masa pemerintahan RIS oleh menteri keuangan pada
waktu itu Syarifuddin Prawiranegara.
2. Program Benteng (benteng grup)
Gagasan program
benteng dituangkan oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo dalam program kabinet
Natsir (September-April 1951). Pada saat itu Sumitro menjabat sebagai menteri
perdagangan. Selam 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa
Indonesia menerima bantuan kredit dari program Benteng ini. Akan tetapi, tujuan
dari program ini tidak dapat dicapai dengan baik. Kegagalan program ini
disebabkan para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan perusahaan non
pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal. Kegagalan Program Benteng
menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Walaupun dilanda krisis moneter,
namun menteri keuangan pada masa kabinet sukiman, Jusuf Wibisono masih
memberikan bantuan kredit, khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari
golongan ekonomi lemah. Dengan memberikan bantuan tersebut diharapkan masih
terdapat pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan
mengurangi volume impor.
3. Nasionalisasi de javasche bank
Pada tanggal 19 Juni
1951, kabinet Sukiman membentuk nasionalisasi De Javasche Bank. Kemudian
berdasarkan keputusan-keputusan pemerintah RI N. 122 dan 123, tanggal 12 Juli
1951, pemerintah memberhentikan Dr. Houwink sebagai Presiden De Javasche Bank
dan mengangkat Syarifuddin Prawiranegara sebagai Presiden De Javasche Bank yang
baru. Pada tanggal 15 Desember 1951 diumumkan Undang-undang No. 24 tahun 1951
tentang nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai Bank
sentral dan Bank Sirkulasi.
4. Sistem Ekonomi Ali-Baba
Diprakarsai oleh Iskaq
Tjokrohadisurjo, menteri perekonomian dalam kabinet Ali Sastroamijoyo I. Dalam
sistem ini Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi, sedangkan Baba digambarkan
sebagai pengusaha non pribumi. Dalam kebijakan Ali Baba, pengusaha non pribumi
diwajibkan memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga
bangsa indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Selanjutnya,
pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional dan
memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing
yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan baik, sebab pengusaha pribumi
kurang berpengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan
kredit dari pemerintah.
5. Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa pemerintahan
kabinet Burhanuddin Harahap dikirimkan suatu delegasi ke Jenewa untuk
merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak
Belanda. Misi yang dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung pada tanggal 7 Januari
1956 dicapai kesepakatan sebagai berikut:
· Persetujuan Finek
hasil KMB dibubarkan.
· Hubungan Finek
Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
· Hubungan Finek
didasarkan pada Undang-Undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain
antara kedua belah pihak.
Karena pemerintah
Belanda tidak mau menandatangani persetujuan ini, maka pemerintah RI mengambil
langkah se pihak. Pada tanggal 13 Februari 1956, Kabinet Burhanuddin Harahap
melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara se pihak. Hal ini dimaksudkan
untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sebagai tindak
lanjut dari pembubaran uni tersebut, pada tanggal 3 Mei 1956 Presiden Soekarno
menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Akibatnya, banyak
pengusaha-pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha
pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda tersebut.
6. Rencana Pembangunan Lima tahun (RPLT)
Pada masa kabinet Ali
Sastroamijoyo II, pemerintah membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
yang disebut Biro Perancang Negara. Ir. Djuanda diangkat sebagai menteri
perancang nasional. Pada bulan Mei 1956, Biro ini berhasil menyusun Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun
1956-1961. Rencana Undang-Undang tentang rencana Pembangunan ini disetujui oleh
DPR pada tanggal 11 November 1958. Pembiayaan RPLT ini diperkirakan mencapai
Rp. 12,5 miliar. RPLT ini tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan oleh
hal-hal sebagai berikut.
· Adanya depresi ekonomi
Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958
mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
· Perjuangan
pembebasan Irian Barat dengan melakukan Nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
· Adanya ketegangan
antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakannya
masing-masing.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)
Ketegangan antara
pusat dan daerah pada masa Kabinet Djuanda untuk sementara waktu dapat
diredakan dengan diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Ir. Djuanda
sebagai Perdana Menteri memberikan kesempatan kepada Munap untuk mengubah
rencana pembangunan itu agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang
menyeluruh untuk jangka panjang. Akan tetapi, rencana pembangunan ini tidak
dapat berjalan dengan baik karena menemukan kesulitan dalam menemukan
prioritas. Selain itu ketegangan politik yang tak bisa diredakan juga
mengakibatkan pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta. Untuk mengatasi pemberontakan
ini diperlukan biaya yang sangat besar sehingga meningkatkan defisit. Sementara
itu ketegangan politik antara Indonesia dengan Belanda menyangkut Irian Barat
juga memuncak menuju konfrontasi bersenjata.
2. Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Strukur Ekonomi
Indonesia pada waktu itu menjurus kepada sistem etatisme, artinya
segala-galanya diatur dan dipegang oleh pemerintah. Kegiatan-kegiatan ekonomi
banyak diatur oleh peraturan-peraturan pemerintah, sedangkan prinsip-prinsip
ekonomi banyak yang diabaikan. Akibatnya, defisit dari tahun ke tahun meningkat
40 kali lipat. Dari Rp. 60,5 miliar pada tahun 1960 menjadi Rp. 2.514 miliar
pada tahun 1965, sedangkan penerimaan negara pada tahun 1960 sebanyak Rp. 53,6
miliar, hanya meningkat 17 kali lipat menjadi Rp. 923,4 miliar . Mulai bulan
Januari – Agustus 1966, pengeluaran negara menjadi Rp. 11 miliar, sedangkan
penerimaan negara hanya Rp. 3,5 miliar. Defisit yang semakin meningkat ditutup
dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Akibatnya menambah berat
angka inflasi.
Dalam rangka
membendung inflasi dan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat,
maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya tentang
penurunan nilai uang (devaluasi) sebagai berikut.
1. Uang kertas pecahan
bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50.
2. Uang kertas pecahan
bernilai Rp. 1000 menjadi Rp. 100.
3. Pembekuan semua
simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Usaha Pemerintah ini
tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang semakin jauh, terutama perbaikan
dalam bidang moneter. Pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru bagi
ekonomi secara menyeluruh, yaitu Deklarasi Ekonomi (Dekon). Dekon dinyatakan
sebagai dasar ekonomi Indonesia yang menjadi bagian dari strategi umum Revolusi
Indonesia. Tujuan dibentuknya Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang
bersifat nasional, demkratis dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk
mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam
pelaksanaannya, Dekon mengakibatkan stagnasi dalam perekonomian Indonesia.
Kesulitan-kesulitan ekonomi semakin mencolok. Pada tahun 1961-9162 harga
barang-barang pada umumnya naik 400%. Politik Konfrontasi dengan Malaysia dan
negara-negara Barat semakin memperparah kemerosotan ekonomi Indonesia.
Pada tanggal 13
Desember 1965 melalui penetapan Presiden No. 27 tahun 1965, diambillah langkah
devaluasi dengan menjadikan Uang senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1. Sehingga uang
rupiah baru semestinya bernilai 1000 kali lipat uang lama. Akan tetapi didalam
Masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi uang
rupiah baru. Akibatnya, tindakan moneter pemerintah menekan inflasi ini malah
meningkatkan angka inflasi.
Pada masa Demokrasi
terpimpin ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Akibatnya pemerintah harus mengadakan pengeluaran-pengeluaran yang sangat besar,
sehingga harga-harga kebutuhan pokok makin melambung tinggi. Tingkat harga
paling tinggi terjadi pada tahun 1965, yaitu sebesar 200%-300% dari tahun
sebelumnya, seiring dengan ekspor yang semakin lesu dan impor yang dibatasi
karena lemahnya devisa.
Dalam rangka
pelaksanaan ekonomi terpimpin, Presiden Soekarno merasa perlu untuk
mempersatukan semua bank negara kedalam satu bank sentral. Untuk itu
dikeluarkan perpres No. 7 Tahun 1965 tentang pendirian Bank Tunggal Milik
Negara. Tugas bank tersebut sebagai bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum.
Untuk mewujudkan tujuan itu maka dilakukan peleburan bank-bank negara Seperti
Bank koperasi dan Bank Nelayan (BKTN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan negara,
Bank Negara Indonesia kedalam Bank Indonesia. Selanjutnya dibentuklah Bank
Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan pekerjaan dan tugas
masing-masing.
B. Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Tepatnya sejak bulan Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan
Orde Baru. Berbeda dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde Baru ini
perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat
lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintahan Orde Baru
menjalin kembali hubungan baik dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh
ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan Dana
Moneter International (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah
melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi
ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk
menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan
menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami
stagnasi pada masa Orde Lama.
Pada permulaan Orde Baru, program pemerintah berorientasi pada
usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat
inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Tindakan pemerintah tersebut dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal
tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650% setahun. Hal itu
menjadi penyebab dari kurang lancarnya program pembangunan yang telah
direncanakan oleh pemerintah.
Arah dan kebijakan Ekonomi yang ditempuh oleh pemerintah Orde
Baru diarahkan pada pembangunan disegala bidang. Pelaksanaan pembangunan orde
baru bertumpu pada program yang dikenal dengan sebuah program yang dikenal
dengan Trilogi Pembangunan, yaitu sebagai berikut.
a) Pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
b) Pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi.
c) Stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis.
Pelaksanaan pola umum
pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) dilakukan orde baru secara periodik 5
tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Pembangunan yang dimaksud
adalah sebagai berikut.
a) Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Tujuan dari Pelita I
adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar
–dasar pembangunan dalam tahap-tahap berikutnya. Sasaran yang hendak dicapai
ialah pangan, sandang, papan, perluasan lapangan kerja dan kesejahteraan
rohani. Pelita I lebih menekankan kepada pembangunan bidang pertanian.
b) Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Sasaran utama Pelita
II yaitu tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana,
menyejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.
c) Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III menekankan
pada Trilogi Pembangunan dengan tekanan pada asas pemerataan, yaitu :
· Pemerataan pemenuhan
kebutuhan pokok rakyat banyak (pangan, sandang dan papan);
· Pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
· Pemerataan pembagian
pendapatan;
· Pemerataan
kesempatan kerja;
· Pemerataan
kesempatan berusaha;
· Pemerataan
kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan;
· Pemerataan
penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan
· Pemerataan
memperoleh keadilan.
d) Pelita IV (1 April 1984 – 13 Maret 1989)
Pada titik ini
pemerintah lebih menitikberatkan kepada sektor pertanian menuju swasembada
pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri
sendiri.
e) Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Pada Pelita ini
pemerintah menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri.
f) Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999)
Pada Pelita VI
Pemerintah masih menitikberatkan pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan
dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia sebagai pendukungnya.
C. Ekonomi Indonesia Pada Masa Transisi
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar bath Thailand
terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing
mengambil keputusan ‘jual’. Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merambat ke
Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia.
Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil.
Sekitar bulan
September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang
perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah memburuk, pemerintah
Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, diantaranya menunda proyek-proyek
senilai Rp 39 triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja
negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut.
Keadaan sistem ekonomi
Indonesia pada masa pemerintahan transisi memiliki karakteristik sebagai
berikut:
• Keguncangan terhadap
rupiah terjadi pada pertengahan 1997, pada saat itu dari Rp. 2.500 menjadi Rp
2.650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah menjadi tidak stabil.
• Krisis rupiah
akhirnya menjadi semakin parah dan menjadi krisis ekonomi yang kemudian
memunculkan krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
• Pada awal
pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Namun,
ternyata pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, sehingga
kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai masa transisi karena KKN
semakin menjadi, banyak kerusuhan.
D. Ekonomi Indonesia Pada Masa Presiden K.H. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur)
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:
§
Dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada perbaikan,
di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku
bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai
stabil.
§
Hubungan pemerintah
dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang dikarenakan
masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesia,
penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri)
dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
§
Politik dan sosial
yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan
untuk menanamkan modal di Indonesia.
§
Makin rumitnya
persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan
lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam
perdagangan saham di dalam negeri.
E. Ekonomi Indonesia Pada Masa Presiden Megawati
Soekarnoputri
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami
masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan
penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi antara lain : .
a) Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan
Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3
triliun. .
b) Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di
dalam
periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan- kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan
ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke
perusahaan asing. . .
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal
keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan
modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
F. Ekonomi Indonesia Pada Masa Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono
Masa Kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi
subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini di latar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke
subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua,
yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan per-kapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah
satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November
2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan
kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk
memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya
adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi
asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang
pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak
lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negeri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal,
antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih sangat
kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sektor
riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi
pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja
Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu
sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negeri, tapi di lain
pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif. .